Judul bombastis, dibalut dengan sampul berhias gambar gadis cantik nan molek, manusia dan setan berwajah seram membuat novel-novelnya selalu dicap picisan. Meski demikian, harus diakui pula, namanya populer sebagai penulis berkat tema horor yang diusungnya.
***
Pada dekade tahun 70 hingga 80-an, bahkan hingga saat ini, nama Abdullah Harahap dikenal masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang gemar cerita bertema misteri sebagai penulis novel horor terpopuler. Wajah-Wajah Setan, Misteri Anak-anak Iblis, Penunggu Jenazah adalah sebagian dari 130-an judul novel yang telah dihasilkannya. Dalam pemilihan judul, Abdullah memang cenderung memilih frase bombastis yang kemudian menjadi ciri khasnya.
Karya-karyanya bukan hanya menarik dan kontroversial, tapi juga kaya akan kearifan hidup dalam menghadapi dunia hantu, alam irasional yang serba gaib (misterius) dan menakutkan, dengan penyajian yang tetap memperhatikan keindahan bertutur yang sastrawi. Kisahnya pun bisa dibilang fantastis seperti tentang penunggu jenazah pengidap nekrofilia, kuntilanak yang membalas dendam, hingga kemunculan siluman ular dan serigala.
Ketika masih kuliah, dia juga mengarang cerita pendek. Kali ini, karangannya tersebut beberapa kali diterbitkan di harian Indonesia Jaya dengan redaktur Ali Shahab. Selain penulis cerpen, Abdullah Harahap adalah seorang jurnalis. Karir jurnalistiknya dimulai sebagai reporter di harian Gala yang berdomisili di Bandung. Pada tahun 70-an ia pun bekerja penuh waktu sebagai Lihat Daftar Wartawan
wartawan di majalah Selekta. Di majalah itu ia kerap meliput peristiwa kriminal. Keluar masuk penjara demi mendapatkan berita sudah jadi rutinitasnya pada waktu itu. Ia juga kerap diajak petugas Kapolri (1968-1971) polisi untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kasus.
Pada saat-saat itu, dunia sastra Tanah Air kebetulan tengah dibanjiri novel populer bertema percintaan yang sudah dirintis oleh Motinggo Busye pada awal 1960-an. Beberapa nama pengarang perempuan pun mulai bermunculan, seperti Marga T, La Rose, Yati Maryati Wiharja, Marianne Katoppo, Titiek W.S, Maria A. Sardjono, Mira W, Titie Said, dan Ike Supomo. Ada pun nama pengarang laki-laki antara lain; Motinggo, Ashadi Siregar, Ali Shahab, Asbari Nurpatria Krisna, Eddy D. Iskandar, Yudhistira Adhi Nugraha, Remy Sylado, Teguh Esha, dan Saut Poltak Tambunan.
Abdullah rupanya terseret arus dan produktif dalam menghasilkan cerita pendek dan cerita bersambung yang dimuat di media Selekta Group. Cerita bersambungnya kemudian dibukukan oleh Selekta dan beberapa penerbit lain dari "kelompok Pasar Baru". Dia mengaku telah menerbitkan sekitar 50 judul novel pada dekade itu, seperti Kekasih yang Hilang, Istriku Sayang Istriku Jalang, Lembutnya Dosa Kotornya Cinta, Impian Seorang Janda, Penyesalan Seumur Hidup, dan Kekasih Hatiku.
Pria kelahiran Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 17 Juli 1943 ini mulai menulis sejak SMA. Pada pertengahan tahun 60-an, ia sudah mulai mengirimkan hasil tulisannya ke majalah Selekta, namun mungkin karena belum mendapat kesempatan, tulisan Abdullah tak pernah diterbitkan. Selepas SMA, ia lalu merantau ke Jawa Barat. Di Bandung, ia sempat kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Jurusan Civic Hukum, tapi karena alasan tertentu, ia tidak menamatkan kuliahnya tersebut.
Kisah horor yang pertama kali ditulis Abdullah berjudul Dikejar Dosa dimuat secara bersambung di tabloid Srop pada tahun 1970-an. Setelah kemunculan karya pertamanya, jalan untuk menapaki karir sebagai penulis semakin terbuka lebar. Permintaan untuk menulis cerita horor banyak berdatangan kepadanya. Sejak 1975, dia sepenuhnya meninggalkan karangan bertema percintaan. Sebaliknya, ia menulis cerita horor hingga 70 judul. "Dalam novel misteri, saya lebih leluasa menulis. Pada roman itu ada tata dan logika yang harus dijaga, sedangkan dalam menulis misteri kita bisa suka-suka, sepuas-puas hati," katanya.
Dalam proses kreatifnya, Abdullah banyak terinspirasi oleh kehidupan sehari-hari yang pernah dialaminya. Seperti ketika ia menulis kisah horor pertamanya, Dikejar Dosa. Abdullah mendapat ide dari kejadian di tempat kuliahnya dulu, IKIP Bandung dimana suatu ketika terdengar suara orang sedang berteriak dari belakang kampus. Setelah ditelusuri ternyata suara itu datang dari seorang perempuan gila yang sedang melahirkan tanpa bantuan. Akhirnya perempuan dan bayinya itu meninggal begitu saja.
Selain itu, pengalaman selama 20 tahun menjadi wartawan kriminal turut mempengaruhi gaya penulisannya. Ia juga banyak menggali bahan novelnya dari cerita-cerita orang atau legenda yang hidup di suatu daerah. "Kalau saya dengar ada cerita yang menarik di suatu tempat, saya datang ke sana," ujarnya. Metode wawancara juga kerap dia gunakan demi menyempurnakan tulisannya, misalnya bertanya kepada dokter ahli untuk mendapat penjelasan soal penyakit tertentu atau kepada pengacara untuk kasus tertentu.
Bahkan imajinasinya kadang tergugah oleh hal sepele dan tak disangka. Seperti ketika ia menemani saudaranya membeli lemari. Saat berkeliling di toko lemari, ia menemukan lemari antik berukir wajah perempuan. Mata perempuan pada ukiran itu dirasakannya begitu gaib. Seketika muncullah ide di kepalanya tentang lemari yang memiliki penunggu. "Ceritanya potong sana potong sini, pengalaman satu digabung dengan pengalaman lain," begitu Abdullah menjelaskan. Ide itulah yang melatarbelakangi lahirnya cerita berjudul Misteri Lemari Antik.
Bagi Abdullah, cerita horor tidak melulu bercerita tentang hantu. Lebih dari itu, cerita horor yang ditulisnya banyak bercerita tentang kehidupan sosial dan berbagai permasalahan. Dalam novelnya, ia tidak hanya menyuguhkan cerita yang membuat bulu kuduk pembacanya berdiri. Namun, juga tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Pelajaran yang ia harap bisa dipetik dari setiap karyanya adalah balasan yang akan diterima seseorang sesuai dengan perbuatannya.
Jika ia berbuat buruk maka konsekuensi yang diterimanya juga akan lebih buruk, begitupun sebaliknya. Jika melihat perkembangan cerita horor karya-karya penulis baru belakangan ini, konsep cerita horor seperti inilah yang sudah jarang ditemui atau bahkan hilang sama sekali. Kebanyakan buku bergenre misteri yang ada belakangan ini hanya menjual cerita hantu dan ketakutan belaka.
Meski menulis cerita-cerita horor, ternyata Abdullah juga tidak lepas dari rasa takut, bahkan terkesan penakut akan hal-hal yang berkaitan dengan dunia hantu. Seperti pengakuannya, suatu ketika ia pernah sedang asyik mengetik di malam hari, tiba-tiba lampu mati. Ia pun berteriak dan minta istrinya untuk mendampinginya. Ia juga mengaku takut pergi ke kuburan. Tapi, rasa takutnya itu ternyata malah digunakannya sebagai parameter kualitas tulisannya. "Saya tahu saya sedang menulis cerita bagus kalau saat menulis bagian seramnya, bulu kuduk saya ikut berdiri. Kalau tidak, lebih baik saya robek kertasnya," akunya.
Karena terlalu banyak kisah horor yang telah dihasilkannya, pada akhirnya membuat banyak pembaca akhirnya salah kaprah. Ia dianggap sebagai paranormal dan kerap diminta bantuan untuk menyembuhkan orang sakit. Bahkan ada paranormal yang memintanya untuk berbagi ilmu.
"Saya tak bermaksud mengajari orang untuk percaya hal begitu. Saya hanya ingin menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua cerita hanya ada dalam imajinasi. Saya dapat informasi, lalu dikarang-karang di kepala," jelas penggemar roman Motinggo Busye itu.
Judul bombatis, dibalut dengan sampul berhias gambar gadis cantik nan molek atau manusia berwajah seram, cerita yang terkesan hanya berkisah tentang balas dendam, pembunuhan, motif-motif berupa setan serta diperkuat lagi dengan konten yang dianggap berbau pornografi membuat novel-novelnya selalu dicap picisan.
Walau begitu, ia mengaku tak keberatan jika karyanya disebut picisan. Bagi bapak tiga anak ini yang terpenting adalah kisahnya dibaca banyak orang dan mudah dimengerti. Mengenai batasan-batasan antara yang mana sastra dan mana yang bukan, ia pun tak mau ambil pusing.
Baginya menulis bukan hanya ladangnya dalam mencari nafkah namun juga hobi. Sakit kepala pun bisa hilang kalau sedang menulis cerita. Bekerja berdasarkan hobi merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Itulah yang membuatnya terus berkarya menjadi penulis.
Perjalanan karirnya sebagai penulis tak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1975, ia sempat tersandung masalah hukum ketika salah satu karyanya yang berjudul Budak dan Budak dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan pornografi. Karya yang dimuat di majalah Mayapada itu menghadirkan tokoh cerita seorang hipers*ksual dan tentu saja tak lepas dari adegan s*ksnya.
Untungnya, sastrawan besar H.B. Jassin yang ketika itu tampil sebagai saksi ahli membela Abdullah. Jassin menilainya sebagai karya sastra. Adegan s*ks itu untuk menunjukkan 'penyakit' sang tokoh. Seperti kata Jassin, kalau tidak ada penggambaran itu, karakter itu hilang," jelas Abdullah. Berkat pembelaan Jassin, dakwaan atas karya itu dicabut, Abdullah pun bebas dari jeratan hukum.
Pada pertengahan 90-an, ia kemudian beralih menulis skenario film dan televisi. Menulis novel horor terus-menerus membuatnya takut jenuh hingga justru hasilnya tak maksimal. Barulah pada tahun 2000 dia menulis kisah horor berjudul 'Misteri Sebuah Peti Mati' yang diterbitkan Gramedia pada Oktober 2010.
Kemasyuran namanya sebagai penulis cerita horor legendaris membuat tiga penulis muda yakni Ugoran Prasad, Intan Paramadhita, dan Eka Kurniawan tergugah untuk mengapresiasi karyanya. Ditandai dengan penerbitan buku yang memuat 12 kumpulan cerpen berjudul Kumpulan Budak Setan pada Februari 2010. Mereka berusaha memaknai kembali unsur-unsur sastrawi yang tak disangka (atau tak seharusnya ada) dalam karya sastra kaki lima Abdullah. Cerita-cerita pendek itu dihasilkan setelah mereka membaca dan menafsir ulang cerita-cerita horor populer karya Abdullah Harahap dari masa 1970-1980-an.
Sumber: TokohIndonesia
Read more: http://ceritapendekhoror.blogspot.com/2013/03/abdullah-harahap-sang-novelis-horor-indonesia.html#ixzz2pXR9ZlTB